Raih Rezeki dengan Kopi - PELUANG USAHA

Breaking News

test banner

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Raih Rezeki dengan Kopi

Share This






Hadir sebagai pemain baru dalam bisnis kopi bubuk, bukan hal mudah bagi Edi Asmadi untuk bisa menggaet konsumen. Namun Edi bisa sukses dengan modal kegigihan dan pemasaran yang mumpuni.
Keputusan putusan Edi berhenti dari pekerjaannya di perusahaan eksportir kopi 20 tahun silam memang tak perlu disesali. Keputusannya itu justru berhasil membalikkan keadaan dengan meraup pendapatan hingga 100 kali lipat dari gajinya sebagai karyawan waktu itu. Sebagai pengusaha, kini dia masuk kategori sukses karena berhasil mempekerjakan puluhan orang yang tinggal di sekitar rumahnya di kawasan Jalan Ki Merogan Lorong Bersama, Kecamatan Kertapati, Kota Palembang, Sumatera Selatan.
Kesuksesan bisnisnya juga bisa diukur dengan jangkauan pemasaran yang kini telah menjelajah ke berbagai kabupaten di Sumsel. Pemasaran kopi bubuk Edi telah merambah Palembang, Musi Banyuasin (Muba), Banyuasin, Ogan Ilir (OI), Baturaja, dan Muaraenim. Memulai bisnis dengan modal minim, Edi juga mengalami pasang surut saat menjalankan usaha bubuk kopi. Berbagai penolakan dan hinaan sudah tak terhitung lagi dirasakannya. Namun dengan kegigihan, produknya tak hanya sukses di terima pasar, pendapatannya pun makin meningkat seiring perjalanan waktu dan banyaknya permintaan. Edi memulai usahanya sejak 1990. Berbekal pengalaman sebagai penjual bubuk kopi di perusahaan eksportir, ayah empat anak ini memberanikan diri menjadi pengusaha. Dia pun memutuskan berhenti bekerja dan mulai belajar menjadi penjual bubuk kopi rumahan.
Waktu itu, modal awalnya Rp300.000 dari gaji terakhirnya. Karena belum memiliki karyawan, Edi membeli kopi yang banyak dijual para agen besar di kawasan Jakabaring. Setelah dikemas sedemikian sederhana, kopi-kopi berbagai ukuran itu dia pasarkan sendiri ke warung-warung di sekitar rumahnya. Inilah yang menjadi saat tersulit dalam perjalanannya mengembangkan bisnis kopi sesuai cita-citanya. Lambat laun dia mulai membuat kopi bubuk sendiri dengan bahan baku yang didatangkan dari Tanjung Enim. “Dua sampai tiga tahun pertama (memulai bisnis) itu waktu yang paling sulit, karena saya berusaha sendirian.Tapi itu bisa diatasi. Caranya, saya gratiskan dulu biar orang tahu cita rasa kopi saya,”tuturnya.

Saat memulai bisnis ini, Edi pertama kali hanya menyediakan 5-6 kg bubuk kopi. Namun kini dia telah berhasil memproduksi 9-10 ton per bulan. Produknya pun perlahan-lahan diterima pasar. Keaslian kopi khas Semendo itu akhirnya akrab di lidah sebagian besar warga Palembang dan sekitarnya. Ternyata pilihan Edi tak meleset. Meski harus bersaing dengan merek produk terkenal, pasar kopinya tetap stabil dan terus meningkat. Penambahan produksi ini membuat Edi lebih banyak mempekerjakan penggoreng dan penggiling kopi. Usahanya pun terus berkembang dan makin banyak peminat. Untuk bisa terus bersaing, dia kembali mengumpulkan keuntungan untuk melengkapi peralatan-peralatan yang dibutuhkan.
Seiring dengan terus berkembangnya bisnis yang dia geluti,pria kelahiran Bengkulu ini membutuhkan modal besar. Berkat anjuran dan saran keluarga terdekatnya, Edi memutuskan meminjam ke PT Pupuk Sriwijaya (Pusri). “Awalnya saya tidak mau meminjam terutama pada bank, tapi keluarga terus mendesak untuk mengajukan ke PT Pusri. Saat itu keluarga mengatakan mekanisme meminjam di PT Pusri berbeda dengan bank di mana bunganya jauh lebih rendah. Akhirnya saya mengajukan pinjaman,” ungkapnya.
Gayung pun bersambut. Setelah disurvei dan dianalisis kelayakan usaha bisnisnya, Pusri mengabulkan pinjaman untuk Edi senilai Rp2 juta dengan jatuh tempo pelunasan dua tahun. Edi pun resmi menjadi binaan Pusri. Setelah mendapat pinjaman, uang itu dimanfaatkannya untuk tambahan modal guna meningkatkan produksi.
Sejak saat itu dia merekrut satu orang karyawan. Merasa terbantu dengan pinjaman yang dikucurkan PT Pusri, Edi kembali melakukan pinjaman kedua pada 1995. Kali ini besar pinjaman yang diajukan lebih besar, yaitu senilai Rp4 juta. Uang itu dia gunakan untuk membeli peralatan seperti mesin giling kopi seharga Rp800.000. “Selain itu untuk membeli alat menggoreng kopi senilai Rp1,4 juta dan membangun gudang penyimpanan kopi sekitar Rp1 juta. Jadi pinjaman itu memang saya gunakan untuk modal usaha, bukan untuk yang lain,” ujar Edi yang terkenal dengan produk kopi bubuk bermerek “Kopi Biji”.
Diakui Edi, pinjaman itu sangat berdampak besar pada usaha yang dia geluti.Terjadi peningkatan produksi dibandingkan sebelumnya. Dia lalu menambah karyawan menjadi dua orang.

Penjualan yang meningkat membuat penghasilannya bertambah. Edi pun berhasil melunasi pinjaman kepada Pusri sesuai jatuh tempo. Kedisiplinan itu membuat Pusri makin percaya kepada Edi. Pada 1997, Edi kembali mendapat kucuran modal kerja dari Pusri sebesar Rp34 juta. Uang itu dia pergunakan untuk memperbaharui mesin penggilingan kopi dan menambah luas gudang kopi di sebelah rumahnya. Berkat bantuan itu,usaha kopi Edi kini meningkat pesat.Jika pada awal 1993 produksi kopinya hanya 10 kg per hari, kini melesat hingga 10 ton per bulan. Penghasilannya pun di luar perkiraan mencapai Rp200 juta per bulan.Karyawannya kini 20 orang. “Untuk di luar kota, pemasaran sudah sampai Lampung, Bengkulu, dan Jakarta,” tambahnya.

Dari sekian banyak binaan Pusri, Edi termasuk yang paling lancar membayar pinjaman. Imbasnya, setiap kali Edi mengajukan pinjaman baru selalu disetujui. Misalnya pada 2001, Edi meminjam Rp42 juta dan naik lagi pada 2008 menjadi Rp60 juta. Selain pinjaman, Edi juga merasakan banyak mendapat keuntungan menjadi mitra binaan Pusri. Di antaranya selalu diajak mengikuti pelatihan dan seminar dengan tema-tema berbeda seperti pemasaran,pengemasan,dan tata cara ekspor.“Walau produk saya belum diekspor tapi saya sudah paham bagaimana cara ekspor. Saya juga ingin suatu saat produk saya bisa diekspor,” tandasnya.

Selama mengikuti rangkaian seminar, Edi mengaku selalu mendapat pelajaran baru. Dia pun selalu menerapkan materi pelatihan dalam menjalankan bisnisnya. Misalnya ketika dia mengikuti pelatihan tentang kemasan. Dari acara itu, Edi sadar bahwa kemasan yang menarik ikut memengaruhi penjualan. Sejak saat itu kemasan kopinya yang dulu sederhana diperbaiki. Alhasil usaha kopinya kini makin laris diminati pembeli. Demikian halnya jika ada pameran, Pusri selalu mengikutsertakannya. Meski tidak rutin, Edi mengaku banyak merasakan manfaatnya. Selain berjualan dan menambah pengetahuan, pameran juga menjadi ajang untuk mempromosikan usahanya. Dengan segala yang diraihnya kini, Edi mengaku sangat bersyukur karena pilihannya untuk berwirausaha membawa keberhasilan. Dia pun makin mantap mengembangkan usaha kopinya di tengah persaingan yang makin ketat.

Menjadi pengusaha diakui Edi sangat menyenangkan dibandingkan menjadi karyawan. Hidupnya menjadi lebih bebas tanpa ada tekanan dan tidak ada yang memarahi. “Saya merasa jadi karyawan gajinya sangat terbatas, sedangkan kebutuhan keluarga terus bertambah dan merasa tidak punya masa depan. Sampai kapan pun saya akan tetap jadi karyawan,” ujarnya.

Meski sudah mapan, Edi tak berpuas diri. Ke depan dia masih punya sederet rencana untuk mengembangkan usaha kopi bubuknya. Pada 15 Juni mendatang, dia berencana merilis produk baru dengan rasa berbeda dari produk terdahulu. Kali ini Edi berencana meluncurkan kopi siap seduh yang sudah dicampur gula.

Produk ini akan menyasar penikmat kopi yang mempunyai mobilitas tinggi misalnya para pencinta alam. Dengan kopi ini,mereka tak perlu lagi menyediakan gula saat akan bepergian karena kopi dalam kemasan tersebut siap diseduh. Harga kopi ini cukup bersaing dengan kopi instan yang lebih dulu beredar di pasaran. Untuk 10 bungkus, produk ini dibanderol Rp8.000 atau Rp800 per kemasan.

Seputar Indonesia/Komalasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages